Meski Bung Karno pernah memenjarakannya, Hamka tetap memaafkan. Di saat Pramoedya Ananta Toer menuduhnya sebagai seorang plagiat, Hamka tetap berlapang dada. Menganggap tuduhan Pram hanya kesalahpahaman semata. Hamka tetap mendudukkan Pramoedya sebagai sastrawan tanah air yang memiliki prestasi gemilang. Bahkan, saat Muhammad Yamin mendiamkannya bertahun-tahun lamanya hanya karena berseberangan pemikiran soal dasar negara, Hamka sama sekali tidak menyimpan dendam. Ulama kelahiran Maninjau itu justru menemani Muhammad Yamin sampai ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Persepsi kebanyakan orang terhadap Hamka sering salah. Hamka selalu diidentikkan sebagai seorang yang tegas dan kaku. Seorang muslim kolot yang tidak bersedia kompromi dengan golongan yang tak sepemikiran dengannya. Nyatanya, Hamka adalah seorang yang lembut hatinya, santun dan teduh dakwahnya, ulama ‘perangkul’ bukan ‘pemukul’. Prinsip yang selalu ia pegang adalah semakin tinggi ilmu, semakin sedikit menyalahkan liyan. Ia adalah satu di antara sekian banyak ulama besar yang pernah dimiliki Indonesia. Pengaruh dan keilmuannya berhasil menyentuh semua golongan, baik religius maupun nasionalis, masyarakat dalam negeri, maupun luar negeri.